Rabu, 09 Februari 2011

Melepas Istri

aku menyerah.
kau pergilah
dengan gegas dan beban lepas,
dariku karena kau tak lagi merasa puas.

tak usah kau kenang lagi saat kita berdua menarikan kuas
memulas alas anak kita untuk berpulas.
sesekali saja pulang untuk rindu yang hendak kau hempas
pada anak kita yang berkulit seputih kapas.

kau memang punya cukup trengginas sehingga kau bersikeras
hendak mengadu nasib di lautan cahaya bias.

sering kau menghardikku lelaki pemalas.
memang di dapur kita jarang ada beras, lauk pauk apalagi daging unggas,
tapi bukan berarti aku pemalas.
mungkin rejekilah yang mesti dijemput lebih keras.

bagi keluarga kita matahari teriknya amat panas
dan hidup begitu buas
maka keringat mesti sampai tandas diperas.
kepala di bawah dan kaki di atas
kugeluti agar keluarga kita, biarpun tersengal tetap bisa bernafas.

dari subuh hingga sinar hari lepas tekun aku memilah-pilah ampas
kukumpulkan pula apapun yang berjuluk bekas
demi harga yang kian melangit juga nilai di lembar-lembar kertas.

tak adakah satu pun di ibamu yang membekas?
semua seperti tersapu hujan deras
karena pada akhirnya anak kita menangis keras
dan aku hanya mampu termangu di teras...



kemayoran, 23022010

2 komentar:

indrawisudha mengatakan...

Hidup yang keras. Semoga selalu ada masa depan bernas.

Ah, sedih sekali membaca puisimu kali ini.

Tilarso mengatakan...

saya membayangkan seandainya saya yang mengalami hal tersebut, kawan.