sudah sering terjadi semenjak proklamasi bahwa konstitusi merestui segala aksi dan demontrasi demi situasi negeri juga demi perut-perut tak berisi.
namun kata-kata cuma bisa kueja karena sebenarnya matahari tak 'kan sekalipun terbit di mulut goa.
sejengkal demi sejengkal kupijakkan kakiku yang terbebani bayi. gerimis tekun kunanti karena mimpi-mimpiku butuh dibasahi. hujan adalah salah satu mimpiku yang masih kering. di tanah ini dasi tumbur subur sekali.
aku tak bernyali bertamu ke rumah sebelah karena aku yakin sesuatu yang tak lumrah akan kudapati sebagai hidangan suguhan. setiap kali bertandang ke rumah kerabat selalu aku disuguhi air mendidih yang butuh waktu untuk mendinginkan sedang hausku sudah kian mencekik.
senda gurau semakin mengangakan lukaku. luka jiwa luka raga. luka mata luka telinga.
rerumputan tak sungkan lagi memanggil-manggil Tuhan demi perut-perut tak berisi, demi suguhan tak lumrah, dan demi air mendidih.
aku sendiri memadukan konstitusi, bayi, dasi, dan rerumputan agar serasi dipandang.
lalu apa yang dapat kugadang?
jakarta, 2010
puisi telah diposkan di Situseni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar