kerap kucari diksi
guna menyesaki sejuntai puisi
kususuri sepanjang istilah terpajang
biarpun keranjangku berlubang
meratapi sedih nan mendidih
melumuri diri merah getih
berkawan pada awan dan hujan
coba akrabi halilitar
melawan sekawanan lawan
biarpun diselimuti gentar
mengarungi samudera seluas gelas
menyelami lautan sedalam kolam
berbekal bebal, bernafas seutas
mengais pepasir di pesisir
menjumput maut
dari merapi nan berapi-api
wedus gembel ora tau adhus
memanen tsunami
aceh, nias, mentawai
mengundang bandang
wasior,…
hutan-hutan gundul
menamai jasad-jasad tak dikenal
pun nyawa-nyawa tak berharga
dari kematian nan nian
melipat tragedi di penjuru negeri
menelanjangi para petinggi
hingga diri sendiri
korupsi, aspirasi, hak azasi
dasi, nasi, terasi, basi
hukuman mati, hukum mati
markus, kakus, tikus
gayus?
dimana jaksa, hakim, polisi?
presiden, parlemen, cemen
preman pasar dan terminal
perempuan-perempuan
sholeha, binal
juru parkir, jutawan-jutawan kikir
mengritisi lsm-lsm mingkem melempem
mengupas ormas-ormas beringas
kitab suci, kepercayaan, perdebatan, ulasan
menonton pertandingan bola
penonton saling lempar umpatan, caci maki
pemain saling umpan bogem mentah
wasit berdarah-darah
pelajar, mahasiswa, warga
kejar-kejaran, tawuran
batu bata, senpi, parang, wajah garang
semua berbunyi sama serupa rima
lari sembunyikan diri
di semak-semak sajak
aku menyelinap menjelma diksi
lebur meresap ke tanah gembur subur
adil makmur?
berhenti di liang kubur…
Jakarta, 09 Oktober 2010